Konsep pacaran Kristen sebenarnya tidak "sedangkal" pemikiran orang-orang dunia, terutama remaja yang tidak mengenal Tuhan. Ada banyak sekali remaja yang jatuh ke dalam dosa dan keputusan yang salah, bahkan meninggalkan iman mereka karena "cinta".
Menurut saya, ini adalah bagian tersulit bagi kakak rohani: memberi masukan yang benar kepada adik-adik remaja ketika mereka sedang jatuh cinta. Bisa jadi karena kakak bimbing malah belum pernah punya pengalaman berpacaran sehingga bingung harus memberi masukan apa, atau karena memang cinta itu buta (dan pengaruh hormon dopamin) sehingga cenderung sulit mengajak remaja memikirkan dan mendoakan dengan sungguh-sungguh dalam memilih pasangan hidupnya. Pengalaman ini juga saya alami, ketika mengajak salah satu adik bimbing saya untuk berdoa sungguh-sungguh sebelum memutuskan berpacaran dnegan seorang pria yang tidak bertumbuh secara rohani. Sekalipun sudah bicara panjang lebar, dan tampaknya ia juga sepakat dengan usulan saya, tapi toh tidak berselang lama saya tahu dia sudah "jadian". Dan benar saja, hubungan mereka tidak bertahan lama, dan hubungan itu hanya sambil lalu saja.
Sampai sekarang, saya merasa sangat bersyukur tidak pernah berkomitmen dnegan seseorang selama SMA karena terus terang tidak ada yang bisa dibanggakan dari punya banyak manatn pacar. Sejauh ini, saya selalu mendorong para remaja untuk tidak lebih dulu berkomitmen dengan seseorang. Kadang, kita perlu memberi kebebasan kepada mereka untuk mengambil keputusan mereka sendiri. Namun, jika suatu saat kedapatan mereka menyadari bahwa keputusan mereka salah (dan apa yang kita katakan sebelumnya itu benar), sebaiknya jangan ungkit lagi masalah itu dengan berkata, "Tuh 'kan bener, apa kakak bilang dulu.." Biarkan mereka pun bertumbuh melalui pengalaman itu. Bagian kita adalah membukakan apa yang benar dan setia menjadi rekan seperjalanan rohani mereka.
Menurut saya, ini adalah bagian tersulit bagi kakak rohani: memberi masukan yang benar kepada adik-adik remaja ketika mereka sedang jatuh cinta. Bisa jadi karena kakak bimbing malah belum pernah punya pengalaman berpacaran sehingga bingung harus memberi masukan apa, atau karena memang cinta itu buta (dan pengaruh hormon dopamin) sehingga cenderung sulit mengajak remaja memikirkan dan mendoakan dengan sungguh-sungguh dalam memilih pasangan hidupnya. Pengalaman ini juga saya alami, ketika mengajak salah satu adik bimbing saya untuk berdoa sungguh-sungguh sebelum memutuskan berpacaran dnegan seorang pria yang tidak bertumbuh secara rohani. Sekalipun sudah bicara panjang lebar, dan tampaknya ia juga sepakat dengan usulan saya, tapi toh tidak berselang lama saya tahu dia sudah "jadian". Dan benar saja, hubungan mereka tidak bertahan lama, dan hubungan itu hanya sambil lalu saja.
Sampai sekarang, saya merasa sangat bersyukur tidak pernah berkomitmen dnegan seseorang selama SMA karena terus terang tidak ada yang bisa dibanggakan dari punya banyak manatn pacar. Sejauh ini, saya selalu mendorong para remaja untuk tidak lebih dulu berkomitmen dengan seseorang. Kadang, kita perlu memberi kebebasan kepada mereka untuk mengambil keputusan mereka sendiri. Namun, jika suatu saat kedapatan mereka menyadari bahwa keputusan mereka salah (dan apa yang kita katakan sebelumnya itu benar), sebaiknya jangan ungkit lagi masalah itu dengan berkata, "Tuh 'kan bener, apa kakak bilang dulu.." Biarkan mereka pun bertumbuh melalui pengalaman itu. Bagian kita adalah membukakan apa yang benar dan setia menjadi rekan seperjalanan rohani mereka.